Minggu, 05 Mei 2013

Laporan Keuangan Fiskal & dan metode Puyusutan Berdasarkan Perpajakan

A. Laporan Keuangan Fiskal


LAPORAN KEUANGAN FISKAL
A.   Pengertian Laporan Keuangan Fiskal
Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial atau bisnis ditujukan untuk menilai hasil usaha (Income statement) dan keadaan keuangan  (Balance Sheet) dari satu entitas, sedangkan laporan keuangan fiskal ditujukan untuk menghitung penghasilan kena pajak dan beban pajak yang harus dibayar ke Negara. Laporan keuangan komersil berdasarkan prinsip akuntansi  yang berlaku umum, yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) atau standar lain, sedangkan untuk kepentingan fiskal, laporan keuangan disusun berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Perpajakan lain. Perbedaan penggunaan standar atau prinsip dasar dalam penyusunan Laporan Keuangan – terutama laporan rugi laba- , mengakibatkan perbedaan perhitungan laba rugi suatu entitas (Wajib Pajak) antara laba rugi komersil dan laba rugi fiskal, yang akan berakibat adanya perbedaan perbedaan beban pajak komersial dan beban pajak seharusnya dibayar ke Negara.
Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai solusi antara ketentuan akuntansi dan pajak yaitu :
1.    Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam pendekatan ini laporan keuangan fiscal murni disusun atas dasar perpajakan. Dengan demikian dalam melakukan pembukuan perusahaan menyusun laporan harus menurut ketentuan perpajakan dan menurut praktek pembukuan.
2.    Ketentuan pajakuntuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan standar indepensi dari prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan bebas untuk menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsif dan metode akuntansi.
3.    Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini laporan keuangan atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan kepada ketentuan pajak apabila tidak sesuai dan sejalan dengan standar akuntansi.
B.   Perbedaan Orientasi Pelaporan
Dalam system perpajakan, Negara mempunyai instrument untuk mencapai dua tujuan utama yaitu menutup kebutuhan financial dan memepengaruhi kehidupan social ekonomi nasional. Secara budgetair pajak merupakan alat untuk mentransfer sumberdaya dari masyarakat kepada Negara. Negara lebih memperhatikan laporan keuangan dilampirkan dalam SPT yang meliputi unsur:
1.    Laba tahun berjalan
2.    Distribusi laba
3.    Peredaran
4.    Pengeluaran untuk karyawan dan pembelian jasa yang lain.
Sedangkan tujuan SPT  dalam komersial disusun untuk berbagai pemakai terutama berkepentingan dengan kinerja ekonomi dan keadaan financial perusahaan yang tercantum dalam laporan tersebut.
Plaporan akuntansi komersial dan fiscal memerlukan penilaian atas setiap fakta untuk menentukan posisi financial dan hasil operasi. Meskipun berbeda bentuk laporan keduanya saling berhubungan satu sama lainnya. Dalam penyusunan laporan keuangan komersial dan fiscal terdapat ketidak samaan orientasi dan sifat dari pelaporan tersebut, terutama menyangkut tingkat toleransi fleksibilias pemilihan standar. Pelaporan keuangan komersial disusun berdasarkan konsep kewajaran penyajian dengan implikasi manajemen dapat mengambil suatu pertimbangan sepanjang batasan toleransi prinsip akuntansi.  Apabila terdapat keraguan pengukuran atas suatu transaksi , maka laporan komersial yang akan mengambil solusi agar laporan tampak low profile. Sedangkan laporan fiscal kurang memperhatikan atau fleksibilitas pemilihan standar. Persamaan nya memperlakukan kepada semua wajib pajak menghendaki adanya keseragaman dan simplikasi penyelenggaraan dan pengaturan untuk keperluan basis pajak.
C.   Prinsip Akuntansi Sebagai Subjek Perbedaan Orientasi
Kemampuan pajak untuk mempengaruhi perilaku pengusaha umumnya dianggap suatu alasan pendukung penyimpangan dari prinsip dan praktek akuntansi komersial. Prinsip-prinsip akuntansi yang sering menjadi focus perbedaan orientasi antara pelaporan keuangan fiscal dan pelaporan keuangan komersial seperti dibawah ini :
1.    Prinsip pemadanan (matching) biaya dan manfaat
Untuk keperluan komersial, prinsip ini menghendaki pengakuan pendapatan pada saat realisasi transaksi pertukaran dan pembebanan biaya atau beban dalam masa yang sama dengan pengakuan penghasilan. Meskipun dalam prinsip perpajakan (fiscal) menggaris bawahi prinsip tersebut, sering kali kebijakan tersebut dihiraukan dan terjadi penyimpangan seperti:
a.    Perlakuan pembayaran kenikmatan karyawan sebagai beban pengurang penghasilan meskipun secara ekonomis pengeluaran tersebut merupakan unsure biaya yang dapat menghasilkan profit bagi perusahaan.
b.    Penyusutan asset mulai tahun pengeluaran walaupun harta itu belum dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan.
c.    Imputansi penghasilan bentuk usaha tetap (BUT) atas dasar force of attraction walaupun secara legal penghasilan itu tidak diperolehnya dan secara nyata tidak dicatat dalam pembukuan.
2.    Konsistensi
Metode ini digunakan untuk menilai kinerja bisnis dari tahun ke tahun. Maka dari itu metode ini penerapan nya secara tata asas, kecuali apabila terdapat bukti dan alasan yang kuat untuk melakukan penggantian metode. Missal terhadap berbagai kelompok kelompok dipakai metode penilaian dan pembukuan yang berbeda. Pada dasarnya laporan fiscal juga menganut system ini. Tapi, dalam konsepsional ketentuan perpajakan dapat menentukan lain, misalnya pengakuan hasil bisnis mancanegara.
3.    Konservatisme
Yang dimaksud dengan laporan keuangan fiscal yang konservatisme yaitu laporan keuangan dalam suatu transaksi yang belum menjadi fakta harus diteliti kebenarannya. Dalam akuntansi perusahaan memiliki anggaran untuk pembentukan poenyisihan atau resiko kerugian yang mungkin diderita seperti cadangan kerugian piutang dan penghapusan piutang. Dalam kasus ini administrasi pajak kurang tertarik dengan perhitungan- perhitungan yang belum terjadi secara nyata. Perhitungan pajak lebih cenderung kepada keadaan nyata atau sedang berlangsung dan sudah terjadinya transaksi dengan meneliti elemen yang dikenakan pajak.
4.    Substansi mengesampingkan bentuk formal
Dalam konsep ini laporan keuangan fiscal menitikberatkan kepada substansi ekonomi daripada bentuk formal  tiap transaksi atau fakta bisnis. Kadangkala ketentuan tersebut dikesampingkan dan lebih mengutamakan benrtuk formal dalam kasus tertentu seperti leasing.
D.   Perbedaan Metode dan Prosedur Akuntansi
1.    Metode Penyusutan dan amortisasi : Akuntansi komersial membolehkan memilih metode penyusutan seperti straight line method, sum of the years digits method, declining balance method, double declining balance method, metode jam jasa, jumlah unit produksi dll. Dalam fiskal untuk asset non bangunan, pemilihan metode penyusutan terbatas pada metode garis lurus (straigth line method)  dan Metode saldo menurun (declining  balance method). Sedangkan untuk asset bangunan hanya metode garis lurus saja (straigth line method).
2.    Metode Penghapusan Piutang : Dalam akuntansi komersial, penghapusan piutang ditentukan berdasarkan metode cadangan. Dalam fiskal, penghapusan piutang dilakukan pada saat piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
E.   . Perbedaan Perlakuan dan Pengakuan Penghasilan dan Biaya.
1.    Penghasilan diakui dalam akuntansi komersil, tetapi bukan merupakan objek pajak. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari Penghasilan Kena Pajak. Contoh
·         Penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura.
·         Penghasilan dividen yang diterima oleh perseroan terbatas, koperasi, BUMN/BUMD sebagai Wajib  Pajak dalam negeri dengan persyaratan tertentu.
·         Hibah, bantuan, sumbangan.
·         Penghasilan lain yang termasuk dalam kelompok bukan objek pajak.
Untuk detail, lihat pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2.    Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersil tetapi pengenaan pajaknya bersifat final. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari total Penghasilan menurut akuntansi komersial. Contoh :
·         Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dll.
·         Penghasilan hadiah undian.
Untuk detail, lihat pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3.    Penyebab perbedaan lain yang berasal dari penghasilan :
·      Kerugian usaha di luar negeri : Dalam akuntansi komersial, kerugian
tersebut mengurangi laba bersih, dalam fiskal tidak boleh dikurangkan dari total penghasilan kena pajak.
·      Kerugian usaha dalam negeri tahun-tahun sebelumnya : dalam akuntansi
komersil, kerugian tersebut tidak berpengaruh dalam perhitungan laba bersih tahun berikut. Secara fiskal rugi tahun sebelumnya, dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak tahun sekarang.
4.    Pengeluaran tertentu diakui dalam akuntansi komersil sebagai biaya atau pengurang penghasilan bruto, tetapi dalam fiskal pengurangan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam SPT tahunan PPh, merupakan koreksi fiskal positif yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh. Contoh :
·         Imbalan atau penggantian dalam bentuk natura.
·         Pajak Penghasilan.
·         Sanksi administrasi berupa denda, bunga, kenaikan dan sanksi pidana.
F.    Penyusuna Laporan Keuangan
Dalam penyusunan laporan keuangan dengan prinsip akuntansi yang mengatur tentang pengukuran dan pengakuan berarti dapat dipertanyakan bagaimana suatu laporan keunagan dapat memenuhi  baik untuk keperluan pelaporan komersial maupun laporan fiscal. Dalam penyampaian SPT pajak badan diharapkan agar dapat melampirkan laporan keangan, tetapi untuk keperluan komersial perusahaanpada umumnya jarang sekali membuat laporan keuangan. Seadangkan untuk penyampaian SPT orang pribadi tidak perlu melapirkan laporan keuangan.
Susunan laporan keuangan fiscal :
1.    Input berupa dokumen dasar
2.    Dicatat dalam buku harian jurnal
3.    Diklasifikasikan dengan pencatatan posting pada buku besar
4.    Untuk pengawasan, konfirmasi, dan klarifikasi maka di buat buku tambahan, seperti piutang, hutang dll
5.    Akhir periode akuntansi di susun neraca percobaan yang di sesuaikan terhadap fakta pada akhir tahun dan catatan penutup.
6.    Dari neraca percobaan tersebut dibuat laporan keuangan komersial
7.    Rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan fiscal di atur dalam ketentuan perpajakan
8.    Setelah laporan keuangan diatur dalam kketentuan perpajakan akan menghasilkan laporan keuangan fiscal.
G.   Hubungan laporan keuangan fiscal dengan laporan keuangan komersial
Dalam laporan keuangan fiscal dapat di sesuaikan atau direkonsiliasikan ketentuan perpajakan terhadap laporan keuangan komersial. Dari rekonsiliasi tersebut untuk mengamankan perbedaan sementara seperti penyusutan, dapat dibuat pos- pos tertentu. Dari aktivitas tersebut dapat dibuat pembukuan ganda yang memungkinkan adanya perbedaan antara ketentuan perpajakan dengan standar akuntansi komersial untuk mengamankan kontinuitas rekonsiliasi.
Dalam praktek, pajak penghasilan dapat dihitung berdasarkan laba akuntansi  (pajak teoritis) atau laba kena pajak (pajak riil). Selisih antara keduanya di catat sebagai pos aktiva lain- lain di neraca yang secara teoritis dapat dialokasikan dari waktu - kewaktu. Dari praktek tersebut SAK memberikan kelonggaran kepada pengusaha untuk memilih metode akuntansi pajak penghasilan. 

B. Metode Penyusutan Aktiva Tetap (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000)

  1. Untuk aktiva kelompok I s.d. kelompok IV disusutkan dengan memakai metode garis lurus (straight line methode) atau metode saldo menurun (decline balance methode).
  2. Untuk aktiva kelompok bangunan harus disusutkan dengan metode garis lurus.
  3. Penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas.
  4. Masa manfaat dan tarif penyusutan aktiva untuk masing-masing kelompok telah ditetapkan sebagai berikut :
Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat
Tarif PenyusutanMetode Garis Lurus
Tarif Penyusutan Metode Saldo Menurun
I.
Bukan Bangunan




Kelompok I
4 Tahun
25%
50%

Kelompok II
8 Tahun
12,5%
25%

Kelompok III
16 Tahun
6,25%
12,5%

Kelompok IV
20 Tahun
5%
10%
II.
Bangunan :




Permanen
20 Tahun
5%


Tidak Permanen
10 Tahun
10%

Contoh penggunaan metode garis lurus :
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20 tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00 (= Rp 100.000.000,00 / 20)
Contoh penggunaan metode saldo menurun :
Sebuah mesin dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2000 dengan harga perolehan Rp 150.000.000,00. Masa manfaat mesin tersebut adalah 4 tahun (tarif penyusutannya 50%). Maka perhitungan penyusutannya adalah sbb :
Tahun
Tarif
Penyusutan
Nilai Sisa Buku
       
Harga perolehan
   
150.000.000,00
2000
50%
75.000.000,00
75.000.000,00
2001
50%
37.500.000,00
37.500.000,00
2002
50%
18.750.000,00
18.750.000,00
2003
Disusutkan sekaligus
18.750.000,00
0
       

Penetapan kelompok-kelompok aktiva tetap diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (Kelompok aktiva non bangunan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 dan khusus untuk perusahaan pertambangan diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521/KMK.04/2000

Bangunan tidak permanen adalah  bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
  •  
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002, harta berwujud berupa komputer, printer, scanner dan sejenisnya yang semula masuk ke dalam kelompok II berubah menjadi kelompok I. Penghitungan penyusutannya sbb :
  - Penyusutan berdasarkan ketentuan lama (penyusutan kelompok II) berlaku sampai bulan Maret 2002.
  Penyusutan dengan ketentuan baru (penyusutan kelompok I) berlaku mulai April 2002, dengan tetap menggunakan sisa manfaat semula yang akan mengalami penyesesuain/ percepatan secara otomatis.

Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi, perkebunan tanaman keras, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam usaha tersebut, yang ketentuannya akan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
  •  
Apabila terjadi pengalihan atau penarikan aktiva tetap tersebut di atas, maka jumlah nilai sisa buku fiskal aktiva tersebut dapat dibebankan sebagai biaya dan jumlah harga jual (nilai pasar) atau penggantian asuransi yang diterima atau diperoleh diakui sebagai penghasilan.
  •  
Dalam hal penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Dirjen Pajak jumlah nilai sisa buku fiskal aktiva yang bersangkutan dapat dibebankan sebagai biaya masa kemudian tersebut (matching expense againt revenue).
  •  
Dalam hal pengalihan aktiva berupa bantuan, sumbangan, atau hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, maka nilai sisa buku fiskal harta tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya (kerugian) bagi pihak yang mengalihkan dan bukan penghasilan bagi pihak yang menerima. Sebaliknya, apabila tidak memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, maka bagi pihak yang mengalihkan nilai sisa bukunya tidak dapat diakui sebagai biaya, dan bagi penerimanya merupakan penghasilan.