Minggu, 05 Mei 2013

Laporan Keuangan Fiskal & dan metode Puyusutan Berdasarkan Perpajakan

A. Laporan Keuangan Fiskal


LAPORAN KEUANGAN FISKAL
A.   Pengertian Laporan Keuangan Fiskal
Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba menurut perpajakan (fiskal). Laporan keuangan komersial atau bisnis ditujukan untuk menilai hasil usaha (Income statement) dan keadaan keuangan  (Balance Sheet) dari satu entitas, sedangkan laporan keuangan fiskal ditujukan untuk menghitung penghasilan kena pajak dan beban pajak yang harus dibayar ke Negara. Laporan keuangan komersil berdasarkan prinsip akuntansi  yang berlaku umum, yaitu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) atau standar lain, sedangkan untuk kepentingan fiskal, laporan keuangan disusun berdasarkan Undang-undang dan Peraturan Perpajakan lain. Perbedaan penggunaan standar atau prinsip dasar dalam penyusunan Laporan Keuangan – terutama laporan rugi laba- , mengakibatkan perbedaan perhitungan laba rugi suatu entitas (Wajib Pajak) antara laba rugi komersil dan laba rugi fiskal, yang akan berakibat adanya perbedaan perbedaan beban pajak komersial dan beban pajak seharusnya dibayar ke Negara.
Pendekatan penyusunan laporan keuangan fiscal sebagai solusi antara ketentuan akuntansi dan pajak yaitu :
1.    Ketentuan pajak secara dominan mewarnai praktek akuntansi, Dalam pendekatan ini laporan keuangan fiscal murni disusun atas dasar perpajakan. Dengan demikian dalam melakukan pembukuan perusahaan menyusun laporan harus menurut ketentuan perpajakan dan menurut praktek pembukuan.
2.    Ketentuan pajakuntuk tujuan penyusunan laporan keuangan merupakan standar indepensi dari prinsip akuntansi, dalam pendekatan ini perusahaan bebas untuk menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsif dan metode akuntansi.
3.    Ketentuan pajak merupakan sisipan terhadap standar akuntansi, pendekatan ini laporan keuangan atas dasar standar akuntansi. Tetapi preferensi di berikan kepada ketentuan pajak apabila tidak sesuai dan sejalan dengan standar akuntansi.
B.   Perbedaan Orientasi Pelaporan
Dalam system perpajakan, Negara mempunyai instrument untuk mencapai dua tujuan utama yaitu menutup kebutuhan financial dan memepengaruhi kehidupan social ekonomi nasional. Secara budgetair pajak merupakan alat untuk mentransfer sumberdaya dari masyarakat kepada Negara. Negara lebih memperhatikan laporan keuangan dilampirkan dalam SPT yang meliputi unsur:
1.    Laba tahun berjalan
2.    Distribusi laba
3.    Peredaran
4.    Pengeluaran untuk karyawan dan pembelian jasa yang lain.
Sedangkan tujuan SPT  dalam komersial disusun untuk berbagai pemakai terutama berkepentingan dengan kinerja ekonomi dan keadaan financial perusahaan yang tercantum dalam laporan tersebut.
Plaporan akuntansi komersial dan fiscal memerlukan penilaian atas setiap fakta untuk menentukan posisi financial dan hasil operasi. Meskipun berbeda bentuk laporan keduanya saling berhubungan satu sama lainnya. Dalam penyusunan laporan keuangan komersial dan fiscal terdapat ketidak samaan orientasi dan sifat dari pelaporan tersebut, terutama menyangkut tingkat toleransi fleksibilias pemilihan standar. Pelaporan keuangan komersial disusun berdasarkan konsep kewajaran penyajian dengan implikasi manajemen dapat mengambil suatu pertimbangan sepanjang batasan toleransi prinsip akuntansi.  Apabila terdapat keraguan pengukuran atas suatu transaksi , maka laporan komersial yang akan mengambil solusi agar laporan tampak low profile. Sedangkan laporan fiscal kurang memperhatikan atau fleksibilitas pemilihan standar. Persamaan nya memperlakukan kepada semua wajib pajak menghendaki adanya keseragaman dan simplikasi penyelenggaraan dan pengaturan untuk keperluan basis pajak.
C.   Prinsip Akuntansi Sebagai Subjek Perbedaan Orientasi
Kemampuan pajak untuk mempengaruhi perilaku pengusaha umumnya dianggap suatu alasan pendukung penyimpangan dari prinsip dan praktek akuntansi komersial. Prinsip-prinsip akuntansi yang sering menjadi focus perbedaan orientasi antara pelaporan keuangan fiscal dan pelaporan keuangan komersial seperti dibawah ini :
1.    Prinsip pemadanan (matching) biaya dan manfaat
Untuk keperluan komersial, prinsip ini menghendaki pengakuan pendapatan pada saat realisasi transaksi pertukaran dan pembebanan biaya atau beban dalam masa yang sama dengan pengakuan penghasilan. Meskipun dalam prinsip perpajakan (fiscal) menggaris bawahi prinsip tersebut, sering kali kebijakan tersebut dihiraukan dan terjadi penyimpangan seperti:
a.    Perlakuan pembayaran kenikmatan karyawan sebagai beban pengurang penghasilan meskipun secara ekonomis pengeluaran tersebut merupakan unsure biaya yang dapat menghasilkan profit bagi perusahaan.
b.    Penyusutan asset mulai tahun pengeluaran walaupun harta itu belum dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan.
c.    Imputansi penghasilan bentuk usaha tetap (BUT) atas dasar force of attraction walaupun secara legal penghasilan itu tidak diperolehnya dan secara nyata tidak dicatat dalam pembukuan.
2.    Konsistensi
Metode ini digunakan untuk menilai kinerja bisnis dari tahun ke tahun. Maka dari itu metode ini penerapan nya secara tata asas, kecuali apabila terdapat bukti dan alasan yang kuat untuk melakukan penggantian metode. Missal terhadap berbagai kelompok kelompok dipakai metode penilaian dan pembukuan yang berbeda. Pada dasarnya laporan fiscal juga menganut system ini. Tapi, dalam konsepsional ketentuan perpajakan dapat menentukan lain, misalnya pengakuan hasil bisnis mancanegara.
3.    Konservatisme
Yang dimaksud dengan laporan keuangan fiscal yang konservatisme yaitu laporan keuangan dalam suatu transaksi yang belum menjadi fakta harus diteliti kebenarannya. Dalam akuntansi perusahaan memiliki anggaran untuk pembentukan poenyisihan atau resiko kerugian yang mungkin diderita seperti cadangan kerugian piutang dan penghapusan piutang. Dalam kasus ini administrasi pajak kurang tertarik dengan perhitungan- perhitungan yang belum terjadi secara nyata. Perhitungan pajak lebih cenderung kepada keadaan nyata atau sedang berlangsung dan sudah terjadinya transaksi dengan meneliti elemen yang dikenakan pajak.
4.    Substansi mengesampingkan bentuk formal
Dalam konsep ini laporan keuangan fiscal menitikberatkan kepada substansi ekonomi daripada bentuk formal  tiap transaksi atau fakta bisnis. Kadangkala ketentuan tersebut dikesampingkan dan lebih mengutamakan benrtuk formal dalam kasus tertentu seperti leasing.
D.   Perbedaan Metode dan Prosedur Akuntansi
1.    Metode Penyusutan dan amortisasi : Akuntansi komersial membolehkan memilih metode penyusutan seperti straight line method, sum of the years digits method, declining balance method, double declining balance method, metode jam jasa, jumlah unit produksi dll. Dalam fiskal untuk asset non bangunan, pemilihan metode penyusutan terbatas pada metode garis lurus (straigth line method)  dan Metode saldo menurun (declining  balance method). Sedangkan untuk asset bangunan hanya metode garis lurus saja (straigth line method).
2.    Metode Penghapusan Piutang : Dalam akuntansi komersial, penghapusan piutang ditentukan berdasarkan metode cadangan. Dalam fiskal, penghapusan piutang dilakukan pada saat piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
E.   . Perbedaan Perlakuan dan Pengakuan Penghasilan dan Biaya.
1.    Penghasilan diakui dalam akuntansi komersil, tetapi bukan merupakan objek pajak. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari Penghasilan Kena Pajak. Contoh
·         Penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura.
·         Penghasilan dividen yang diterima oleh perseroan terbatas, koperasi, BUMN/BUMD sebagai Wajib  Pajak dalam negeri dengan persyaratan tertentu.
·         Hibah, bantuan, sumbangan.
·         Penghasilan lain yang termasuk dalam kelompok bukan objek pajak.
Untuk detail, lihat pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
2.    Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersil tetapi pengenaan pajaknya bersifat final. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari total Penghasilan menurut akuntansi komersial. Contoh :
·         Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dll.
·         Penghasilan hadiah undian.
Untuk detail, lihat pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3.    Penyebab perbedaan lain yang berasal dari penghasilan :
·      Kerugian usaha di luar negeri : Dalam akuntansi komersial, kerugian
tersebut mengurangi laba bersih, dalam fiskal tidak boleh dikurangkan dari total penghasilan kena pajak.
·      Kerugian usaha dalam negeri tahun-tahun sebelumnya : dalam akuntansi
komersil, kerugian tersebut tidak berpengaruh dalam perhitungan laba bersih tahun berikut. Secara fiskal rugi tahun sebelumnya, dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak tahun sekarang.
4.    Pengeluaran tertentu diakui dalam akuntansi komersil sebagai biaya atau pengurang penghasilan bruto, tetapi dalam fiskal pengurangan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam SPT tahunan PPh, merupakan koreksi fiskal positif yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh. Contoh :
·         Imbalan atau penggantian dalam bentuk natura.
·         Pajak Penghasilan.
·         Sanksi administrasi berupa denda, bunga, kenaikan dan sanksi pidana.
F.    Penyusuna Laporan Keuangan
Dalam penyusunan laporan keuangan dengan prinsip akuntansi yang mengatur tentang pengukuran dan pengakuan berarti dapat dipertanyakan bagaimana suatu laporan keunagan dapat memenuhi  baik untuk keperluan pelaporan komersial maupun laporan fiscal. Dalam penyampaian SPT pajak badan diharapkan agar dapat melampirkan laporan keangan, tetapi untuk keperluan komersial perusahaanpada umumnya jarang sekali membuat laporan keuangan. Seadangkan untuk penyampaian SPT orang pribadi tidak perlu melapirkan laporan keuangan.
Susunan laporan keuangan fiscal :
1.    Input berupa dokumen dasar
2.    Dicatat dalam buku harian jurnal
3.    Diklasifikasikan dengan pencatatan posting pada buku besar
4.    Untuk pengawasan, konfirmasi, dan klarifikasi maka di buat buku tambahan, seperti piutang, hutang dll
5.    Akhir periode akuntansi di susun neraca percobaan yang di sesuaikan terhadap fakta pada akhir tahun dan catatan penutup.
6.    Dari neraca percobaan tersebut dibuat laporan keuangan komersial
7.    Rekonsiliasi antara laporan keuangan komersial dan fiscal di atur dalam ketentuan perpajakan
8.    Setelah laporan keuangan diatur dalam kketentuan perpajakan akan menghasilkan laporan keuangan fiscal.
G.   Hubungan laporan keuangan fiscal dengan laporan keuangan komersial
Dalam laporan keuangan fiscal dapat di sesuaikan atau direkonsiliasikan ketentuan perpajakan terhadap laporan keuangan komersial. Dari rekonsiliasi tersebut untuk mengamankan perbedaan sementara seperti penyusutan, dapat dibuat pos- pos tertentu. Dari aktivitas tersebut dapat dibuat pembukuan ganda yang memungkinkan adanya perbedaan antara ketentuan perpajakan dengan standar akuntansi komersial untuk mengamankan kontinuitas rekonsiliasi.
Dalam praktek, pajak penghasilan dapat dihitung berdasarkan laba akuntansi  (pajak teoritis) atau laba kena pajak (pajak riil). Selisih antara keduanya di catat sebagai pos aktiva lain- lain di neraca yang secara teoritis dapat dialokasikan dari waktu - kewaktu. Dari praktek tersebut SAK memberikan kelonggaran kepada pengusaha untuk memilih metode akuntansi pajak penghasilan. 

B. Metode Penyusutan Aktiva Tetap (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000)

  1. Untuk aktiva kelompok I s.d. kelompok IV disusutkan dengan memakai metode garis lurus (straight line methode) atau metode saldo menurun (decline balance methode).
  2. Untuk aktiva kelompok bangunan harus disusutkan dengan metode garis lurus.
  3. Penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas.
  4. Masa manfaat dan tarif penyusutan aktiva untuk masing-masing kelompok telah ditetapkan sebagai berikut :
Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat
Tarif PenyusutanMetode Garis Lurus
Tarif Penyusutan Metode Saldo Menurun
I.
Bukan Bangunan




Kelompok I
4 Tahun
25%
50%

Kelompok II
8 Tahun
12,5%
25%

Kelompok III
16 Tahun
6,25%
12,5%

Kelompok IV
20 Tahun
5%
10%
II.
Bangunan :




Permanen
20 Tahun
5%


Tidak Permanen
10 Tahun
10%

Contoh penggunaan metode garis lurus :
Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20 tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00 (= Rp 100.000.000,00 / 20)
Contoh penggunaan metode saldo menurun :
Sebuah mesin dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2000 dengan harga perolehan Rp 150.000.000,00. Masa manfaat mesin tersebut adalah 4 tahun (tarif penyusutannya 50%). Maka perhitungan penyusutannya adalah sbb :
Tahun
Tarif
Penyusutan
Nilai Sisa Buku
       
Harga perolehan
   
150.000.000,00
2000
50%
75.000.000,00
75.000.000,00
2001
50%
37.500.000,00
37.500.000,00
2002
50%
18.750.000,00
18.750.000,00
2003
Disusutkan sekaligus
18.750.000,00
0
       

Penetapan kelompok-kelompok aktiva tetap diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (Kelompok aktiva non bangunan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 138/KMK.03/2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/2000 dan khusus untuk perusahaan pertambangan diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521/KMK.04/2000

Bangunan tidak permanen adalah  bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
  •  
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 138/KMK.03/2002, harta berwujud berupa komputer, printer, scanner dan sejenisnya yang semula masuk ke dalam kelompok II berubah menjadi kelompok I. Penghitungan penyusutannya sbb :
  - Penyusutan berdasarkan ketentuan lama (penyusutan kelompok II) berlaku sampai bulan Maret 2002.
  Penyusutan dengan ketentuan baru (penyusutan kelompok I) berlaku mulai April 2002, dengan tetap menggunakan sisa manfaat semula yang akan mengalami penyesesuain/ percepatan secara otomatis.

Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu, seperti pertambangan minyak dan gas bumi, perkebunan tanaman keras, perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan dalam usaha tersebut, yang ketentuannya akan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
  •  
Apabila terjadi pengalihan atau penarikan aktiva tetap tersebut di atas, maka jumlah nilai sisa buku fiskal aktiva tersebut dapat dibebankan sebagai biaya dan jumlah harga jual (nilai pasar) atau penggantian asuransi yang diterima atau diperoleh diakui sebagai penghasilan.
  •  
Dalam hal penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Dirjen Pajak jumlah nilai sisa buku fiskal aktiva yang bersangkutan dapat dibebankan sebagai biaya masa kemudian tersebut (matching expense againt revenue).
  •  
Dalam hal pengalihan aktiva berupa bantuan, sumbangan, atau hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, maka nilai sisa buku fiskal harta tersebut tidak dapat dibebankan sebagai biaya (kerugian) bagi pihak yang mengalihkan dan bukan penghasilan bagi pihak yang menerima. Sebaliknya, apabila tidak memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, maka bagi pihak yang mengalihkan nilai sisa bukunya tidak dapat diakui sebagai biaya, dan bagi penerimanya merupakan penghasilan.

Minggu, 26 Februari 2012

Pajak



Hak Wajib Pajak
Wajib pajak selain mempunyai kewajiban juga mempunyai hak untuk mendapatkan kerahasiaan atas seluruh informasi yang telah disampaikan pada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Berkaitan dengan pembayaran pajak terutang, Wajib Pajak berhak memperoleh :
1. Pengangsuran pembayaran, apabila wajib pajak mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu untuk membayar pajak sekaligus.
2. Pengurangan PPh Pasal 25, apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan keuangan dikarenakan usahanya mengalami kesulitan sehingga tidak mampu membayar angsuran yang sudah ditetapkan sebelumnya.
3. Pengurangan PBB, pemberian keringanan pajak yang terutang atas Objek Pajak.
4. Pembebasan Pajak, apabila wajib pajak mengalami musibah dikarenakan force mayeur seperti bencana alam. Dalam hal ini DJP akan mengeluarkan suatu kebijakan.
5. Pajak ditanggung pemerintah Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah
6. Insentif Perpajakan, untuk merangsang investasi
7. Penundaan pelaporan SPT Tahunan, Apabila Wajib Pajak tidak dapat menyelesaikan/menyiapkan laporan keuangan tahunan untuk memenuhi batas waktu penyelesaian, Wajib Paja berhak mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 6 (enam) bulan.
8. Restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak), apabila wajib pajak merasa bahwa jumlah pajak atau kredit pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain.
9. Keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan ke DJP. Apabila dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga,
10. Banding, Apabila hasil proses keberatan dirasa masih belum memuaskan Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
11. Peninjauan Kembali, Apabila Wajib Pajak tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak, apabila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
Penyidikan Tindak Pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
Diposkan oleh admin Label:
Pembayaran dan Pelaporan
Setelah melakukan pendaftaran dan mendapatkan NPWP, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung dan membayar pajak, yang selanjutnya melaporkan pajak terutangnya dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT). Batas waktu pembayaran dan pelaporan SPT masa dan SPT tahunan adalah sebagai berikut :
No.

Jenis SPT

Batas Waktu Pembayaran

Batas Waktu Pelaporan
Masa
1
PPh Pasal 21/26
Tgl 10 bulan berikut setelah masa pajak berakhir
20 hari setelah masa pajak berakhir
2
PPh Pasal 25
Tgl 15 bulan berikut setelah masa pajak berakhir
20 setelah masa pajak berakhir
Tahunan
1
PPh OP
Tgl 25 bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak
Akhir bulan ketiga setelah berakhirnya tahun atau bagian tahun pajak
2
PBB
6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT
-
3
BPHTB
Dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
-
Apabila dalam menghitung dan membayar pajak tersebut ditemukan ketidakbenaran dalam pengisian SPT atau karena ditemukannya data fiskal berdasarkan hasil pemeriksaan yang tidak dilaporkan oleh WP, Direktorat Jenderal Pajak akan menebitkan Surat Ketetapan Pajak (skp) kepada WP tersebut.
Diposkan oleh admin Label:
Wajib Pajak
Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
Pengusaha
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
Kewajiban Wajib Pajak
Sesuai dengan sistem self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya.
- Pendaftaran
Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Wajib Pajak Orang Pribadi yang wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah :
1. Orang Pribadi yang menjalakan usaha atau pekerjaan bebas;
2. Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, yang memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya;
3. Wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta;
4. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi kedudukan wajib pajak dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi. Selain mendatangi Kantor Pelayanan Pajak, Wajib Pajak Orang Pribadi dapat pula mendaftarkan diri secara online melalui e-registration di website Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id. Selain mendapatkan NPWP, Wajib Pajak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan kepadanya akan diberikan Nomor Pengkuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP).

sumber www.pajak.go.id
Diposkan oleh admin Label:
Senin, 14 Maret 2011 di 03:03 | 0 komentar
Berikut tarif pajak untuk WP Pribadi dan Badan terbaru
1.Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50.000.000,-
5%
Diatas Rp. 50.000.000,- sampai dengan Rp. 250.000.000,-
15%
Diatas Rp. 250.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,-
25%
Diatas Rp. 500.000.000,-
30%


Tarif Deviden
10%
Tidak memiliki NPWP (Untuk PPh Pasal 21)
20% lebih tinggi dari tarif normal
Tidak mempunyai NPWP untuk yang dipungut /potong(Untuk PPh Pasal 23)
100% lebih tinggi dari tarif norma
Diposkan oleh admin Label:
Kamis, 04 November 2010 di 19:54 | 0 komentar
Diketahui Tn. Ali menikah dengan 4 anak bekerja pada PT Madani, gaji perbulan Rp. 6.000.000
Tunjangan jabatan Rp. 500.000/ bulan, tunjangan transportasi Rp. 400.000/ bulan, perusahaan mengikut sertakan setiap pegawainya asuransi kesehatan dan jamsostek masing- masing Rp 25.000 dan 30.000 per bulan. Hitung PPh yang dipotong PT Madani atas Tn. Ali


 Jawab 
Ali ( K/4 )
Gaji sebulan                                                                            Rp. 6.000.000
Tunjangan jabatan                           Rp. 500.000
Tunjangan transportasi                     Rp. 400.000
                                                                                               Rp.    900.000
Total gaji brouto                                                                      Rp. 6.900.000          
Pengurangan
Asuransi kesehatan                          Rp. 25.000
Iuran Jamsostek                               Rp. 30.000
                                                                                              ( Rp.     55.000  )      
Gaji netto                                                                                 Rp. 6.845.000       
Gaji netto setahun ( 6.845.000 x 12 )                                       Rp.82.140.000     
PTKP
WP Pribadi                                     Rp. 15.840.000
WP Kawin                                      Rp.   1.320.000
Tambahan anak (max 3 )                 Rp.   3.960.000
                                                                                              ( Rp. 21.120.000 )
PKP                                                                                         Rp. 61.020.000



5% X Rp.50.000.000 = Rp.2.500.000
15% X Rp.11.020.000 = Rp.1.653.000
PPh terutang Rp.4.153.000
pph terutang sebulan Rp.346.083,33
atau Rp.346.000                                        


Diposkan oleh admin Label:
Lampiran III
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor : PER-32/PJ/2009
Tanggal : 25 Mei 2009

PETUNJUK PENGISIAN


SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
DAN/ATAU PASAL 26


Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009, hal-hal yang
perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:

1.
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi, menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan
jelas.
2.
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 ditandatangani oleh Wajib
Pajak/Pengurus/Direksi atau Kuasa Wajib Pajak. SPT yang ditandatangani oleh Kuasa Wajib Pajak
harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.
3.
SPT Masa PPh Pasal 21 dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani atau tidak
sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 534/KMK.04/2000, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 dan
Keputusan Direktur Jendera2l Pajak Nomor KEP-214/PJ./2001.
4.
PPh Pasal 21 dibayarkan/disetorkan paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa
Pajak berakhir dan dilaporkan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007.
5.
Pembayaran/penyetoran PPh yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran
sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
6.
SPT Masa PPh Pasal 21 yang disampaikan setelah jangka waktu yang ditetapkan dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar Rp100.000 (seratus ribu rupiah).
PETUNJUK UMUM

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 menggunakan format yang dapat dibaca dengan mesin scanner,
oleh karena itu perlu diperhatikan hal-hal berikut ini:


Jika Wajib Pajak membuat sendiri formulir SPT ini, jangan lupa untuk membuat tanda ¦ (segi empat
hitam) di keempat sudut kertas sebagai pembatas agar dokumen dapat di-scan.

Kertas berukuran F4/Folio (8.5 x 13 inchi) dengan berat minimal 70 gram.

Kertas tidak boleh dilipat atau kusut.

Kolom Identitas:
Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan komputer atau tulis tangan, semua isian identitas harus
ditulis di dalam kotak-kotak yang disediakan.

Bagi Wajib Pajak yang mengisi menggunakan mesin ketik, NPWP harus ditulis di dalam kotak-kotak
sedangkan nama dan alamat Wajib Pajak dapat ditulis dengan mengabaikan kotak-kotak namun tidak
boleh melewati batas kotak paling kanan.

 Contoh : Nama



Kolom-kolom nilai rupiah atau US dollar harus diisi tanpa nilai desimal.
Contoh : dalam menuliskan sepuluh juta rupiah adalah: 10.000.000 (BUKAN 10.000.000,00)
dalam menuliskan seratus dua puluh lima rupiah lima puluh sen adalah: 125 (BUKAN
125,50)


PETUNJUK KHUSUS


1721
SPT MASA PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26


I.
BAGIAN INDUK

Beri tanda silang (X) pada kotak di depan baris ”SPT Normal” jika SPT yang disampaikan
merupakan SPT biasa, dan beri tanda silang (X) pada kotak di depan baris ”SPT Pembetulan Ke-
__” jika SPT yang disampaikan merupakan SPT Pembetulan.

Untuk SPT Pembetulan, maka pada baris: “SPT Pembetulan Ke-___ ” diisi dengan angka kesekian
kalinya Wajib Pajak melakukan pembetulan.
Contoh : Pembetulan ke-satu atas SPT PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Masa Pajak Januari 2009,
maka diisi sebagai berikut :

X

SPT Pembetulan Ke- 1


Tahun Kalender
Diisi dengan Tahun Kalender yang bersangkutan.


Masa Pajak
Diisi dengan Masa Pajak yang bersangkutan.
Untuk SPT Pembetulan, diisi dengan Masa Pajak dari SPT yang dibetulkan.


II.
BAGIAN A
1.
Angka 1 : NPWP
Diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Pemotong Pajak sesuai dengan yang tercantum
pada Kartu NPWP.

2.
Angka 2 : Nama WP
Bagian ini diisi dengan nama Pemotong Pajak sesuai dengan nama yang tercantum pada Kartu
NPWP.

3.
Angka 3 : Alamat
Bagian ini diisi dengan alamat Pemotong Pajak yang sekarang ditempati atau alamat terbaru.

4.
Angka 4 : Nomor Telepon
Cukup jelas.

5.
Angka 5 : Alamat Email
Diisi dengan alamat email (jika Pemotong Pajak memiliki alamat email).

III.
BAGIAN B
1.
Angka 6 – angka 19
Kolom 3 : Diisi dengan jumlah karyawan/orang yang menerima penghasilan.
Kolom 4 : Diisi dengan jumlah penghasilan yang dibayarkan.
Kolom 5 : Diisi dengan jumlah PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang dipotong.
Catatan : Untuk Masa Pajak Desember, Jumlah Penghasilan Bruto (kolom 4) dan Jumlah Pajak


Terutang (kolom 5) diisi jumlah kumulatif dalam Tahun Kalender yang bersangkutan.


2.
Angka 20
Diisi dengan hasil penjumlahan angka 6 sampai dengan angka 19.

3.
Angka 21
Diisi PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang telah Disetor pada Masa Pajak Januari s.d. November.
Angka 21 ini diisi hanya pada Masa Pajak Desember.

4.
Angka 22
Diisi dengan jumlah Pokok Pajak STP PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26.

5.
Angka 23
Berilah tanda X dalam kotak “Masa Pajak” dan isi kotak “Tahun Kalender” sesuai dengan saat
terjadinya kelebihan setor PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26.
Kolom 5 : Diisi dengan jumlah kelebihan setor PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26.
Kelebihan setor sebagaimana dimaksud pada Angka 23 di antaranya meliputi: kelebihan


pemotongan PPh Pasal 21 karena penerapan tarif yang lebih tinggi terhadap Wajib Pajak yang tidak


memiliki NPWP (lihat: PMK No. 252/PMK.03/2008 Pasal 20 Ayat 4).
Penghitungan kembali atas kelebihan pemotongan PPh Pasal 21 karena penerapan tarif yang lebih
tinggi terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP tersebut dilakukan setelah Pemotong Pajak


melakukan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau 26 untuk menunjukkan adanya kelebihan
pemotongan PPh Pasal 21.

6.
Angka 24
Diisi dengan hasil penjumlahan angka 21 + angka 22 + angka 23.

7.
Angka 25
Diisi dengan hasil pengurangan angka 20 dengan angka 24.

8.
Angka 25a
Diisi dengan jumlah PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang disetor dengan SSP PPh Pasal 21
Ditanggung Pemerintah.

9.
Angka 25b
Diisi dengan jumlah PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang disetor dengan SSP.

10. Angka 26
Diisi dengan PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 yang Kurang (Lebih) Disetor pada SPT yang
Dibetulkan, yang merupakan pindahan dari Bagian B Angka 25 dari SPT yang Dibetulkan.

11. Angka 27
Diisi dengan hasil pengurangan jumlah angka 25 dengan jumlah angka 26.

12. Angka 28
Apabila ternyata Angka 25 atau angka 27 menunjukkan lebih setor, kelebihan tersebut
diperhitungkan oleh Pemotong Pajak dengan penyetoran PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan
dilakukannya penghitungan kembali.

IV. BAGIAN C
Angka 29 – angka 31


Kolom 3 : Diisi dengan jumlah karyawan/orang yang menerima penghasilan.

Kolom 4 : Diisi dengan jumlah penghasilan bruto yang dibayarkan.

Kolom 5 : Diisi dengan jumlah PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26 yang dipotong.
V. BAGIAN D
Berilah tanda X dalam kotak yang telah disediakan sesuai dengan lampiran yang disampaikan.

VI. BAGIAN E

Kolom Pernyataan
Beri tanda (X) pada kotak yang sesuai. Pimpinan (yang tercantum namanya didalam “NAMA
PIMPINAN”) atau kuasanya wajib menandatangani dan membubuhkan nama lengkap, NPWP yang
bersangkutan dan membubuhkan cap perusahaan serta mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun
diisinya SPT Tahunan ini pada tempat yang sudah tersedia.


Kolom Diisi oleh Petugas
Berilah tanda (X) dalam kotak yang sesuai. Pegawai menandatangani dan membubuhkan nama
lengkap, NPWP yang bersangkutan dan membubuhkan cap perusahaan serta mencantumkan
tanggal, bulan, dan tahun diisinya SPT Tahunan ini pada tempat yang sudah tersedia.
1721 - I


DAFTAR BUKTI PEMOTONGAN PPh PASAL 21 DAN/ATAU PASAL 26
UNTUK PEGAWAI TETAP DAN PENERIMA PENSIUN BERKALA


Formulir 1721 – I wajib disampaikan hanya pada Masa Pajak Desember. Pemotong Pajak tidak perlu
menyampaikan formulir 1721-A1/A2 sebagai lampiran dari SPT Masa PPh Pasal 21dan/atau Pasal26,
namun wajib memberikan bukti pemotongan 1721-A1/A2 kepada Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun
atau Tunjangan Hari Tua/Tabungan Hari Tua/Jaminan Hari Tua maupun kepada Pegawai Negeri Sipil,
Anggota TNI, Polri, Pejabat Negara dan Pensiunannya.

I.
Bagian A
Kolom 1 : diisi nomor urut
Kolom 2 : diisi NPWP
Kolom 3 : diisi nama Wajib Pajak
Kolom 4 : diisi jumlah penghasilan bruto
Kolom 5 : diisi jumlah PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Terutang
II.
Bagian A1
Kolom 4 : diisi jumlah penghasilan bruto (dari nomor 1 s.d. 20)
Kolom 5 : diisi jumlah PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Terutang (dari nomor 1 s.d. 20)

III.
Bagian B
(........ orang) : diisi dengan jumlah Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun atau THT/JHT yang
Penghasilan Netonya tidak Melebihi PTKP

Kolom 4 : diisi jumlah penghasilan bruto

IV. Bagian C
Kolom 4 : diisi jumlah penghasilan bruto (A1 dan B)
Kolom 5 : diisi jumlah PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Terutang (A1 dan B)
1721 - II


DAFTAR PERUBAHAN PEGAWAI TETAP


Formulir 1721 – II wajib disampaikan hanya pada saat ada Pegawai Tetap yang keluar dan/atau ada
Pegawai Tetap yang masuk dan/atau ada Pegawai yang baru memiliki NPWP.

A.
Pegawai Tetap yang keluar
Kolom 1 : diisi nomor urut
Kolom 2 : diisi NPWP
Kolom 3 : diisi nama Wajib Pajak
Kolom 4 : diisi jumlah penghasilan bruto
Kolom 5 : diisi jumlah PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Terutang
B.
Pegawai Tetap yang masuk
Kolom 1 : diisi nomor urut
Kolom 2 : diisi NPWP
Kolom 3 : diisi nama Wajib Pajak
Kolom 4 : diisi status karyawan (TK, K, K/I, PH, HB)

TK : Tidak Kawin

K : Kawin

K/I : Kawin dengan Istri yang mempunyai penghasilan

PH : Wajib Pajak kawin yang pisah harta dan penghasilan

HB : Wajib Pajak kawin yang hidup berpisah
Kolom 5
: diisi jumlah tanggungan yaitu setiap anggota keluaga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling
banyak 3 (tiga) orang.

C.
Pegawai yang baru memiliki NPWP
Kolom 1 : diisi nomor urut
Kolom 2 : diisi NPWP
Kolom 3 : diisi tanggal terdaftar
Kolom 4 : diisi nama Wajib Pajak
1721 - T


DAFTAR PEGAWAI TETAP/PENERIMA PENSIUN BERKALA


Formulir 1721 – T wajib dilampirkan pada saat pertama kali Wajib Pajak berkewajiban untuk menyampaikan
SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.

Dalam hal Wajib Pajak telah berkewajiban untuk menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pasal 26 sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Formulir 1721 - T wajib
dilampirkan pada Masa Pajak Juli 2009.

Kolom 1 : diisi nomor urut
Kolom 2 : diisi NPWP
Kolom 3 : diisi nama Wajib Pajak
Kolom 4 : diisi status karyawan (TK, K, K/I, PH, HB)


TK : Tidak Kawin

K : Kawin

K/I : Kawin dengan Istri yang mempunyai penghasilan

PH : Wajib Pajak kawin yang pisah harta dan penghasilan

HB : Wajib Pajak kawin yang hidup berpisah
Kolom 5 : diisi jumlah tanggungan yaitu setiap anggota keluaga sedarah dan keluarga semenda dalam
garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang.